Review Relawan Demokrasi KPU: Kecewa Bukan Alasan, Menyerah Bukan Pilihan


Bertolt Brecht, seorang sastrawan berkebangsaan Jerman pernah bertutur, "Buta yang paling buruk ialah buta politik." Banyak orang yang seolah bangga tidak berpartisipasi dalam politik, padahal harga beras, harga cabai, biaya pendidikan, kesehatan, semua tergantung keputusan politik. Tetapi menjadi paradoks, ketika banyak kebijakan yang dirasa tidak cocok, banyak orang mengeluh protes. Eh, dulu ke mana saat pemilu?

Baiklah, kita lupakan soal sentimen di atas. Bagi saya, politik erat kaitannya dengan nilai. Darinya kita akan mengenal apa itu semangat dan cita-cita luhur. Tujuannya tidak lain yaitu untuk kemajuan bangsa dan negara.

Seseorang yang sudah berani mencalonkan diri sebagai pemimpin, maka sejatinya di pundaknya telah terpikul beban berat. Tetapi ketulusan hati akan mengubah kata 'beban' menjadi 'amanah' yang perlu ditunaikan. Atas dasar itu kita pun akan mengenal apa itu tanggung jawab menjadi seorang pemimpin.

Selain berpartisipasi memilih pemimpin yang ideal, tugas kita sebagai masyarakat ialah mengawal pemimpin yang terpilih agar menjalankan amanah dengan baik. Adalah keliru, pasca pemilu kita hanya berpangku tangan dengan semua keadaan. Apalagi mengomel-ngomel dan mengeluhkan keadaan secara membabi buta. Apabila kita ingin menggapai perubahan yang baik, maka kita perlu mengubah persepsi politik yang berkemajuan. Saya menyebutkan membangkitkan kesadaran berpolitik.

Referensi penting: Bisnis Model Canvas, Jurus Jitu Memenangkan Persaingan

Sebagai masyarakat yang memiliki hak demokrasi, kita tak boleh abai dalam memilih pemimpin. Ingat! Keputusan politik akan menentukan kehidupan masyarakatnya. Maka, sebelum menentukan pilihan, pastikan kita telah mengetahui latar belakang dan sepak terjang calon pemimpin yang maju. Hal ini penting untuk menilai sejauh mana kinerja yang telah diukir selama ini. Berikutnya, adalah penting menilik visi, misi, dan program yang ditawarkan. Di sinilah cita-cita dan semangat digaungkan untuk perubahan.

Mengawal Jalan Panjang Demokrasi
Sebagai bentuk kesadaran berpolitik, dua poin di atas kiranya perlu disinergikan. Tidak cukup memilih mempimpin yang baik, akan tetapi perlu juga mengawal dan mengawasi kinerja dalam mewujudkan visi, misi, dan program. 

Bagaimana caranya? Ayolah, sesekali kita perlu main ke kantor DPR. Bukankah mereka wakil rakyat? Yang akan mewakili kita dalam menyampaikan keluh kesah kepada pemangku kebijakan. Datanglah ke kantor mereka, sampaikan bahwa harga sembako tidak stabil, fasilitas publik rusak, layanan kesehatan menurun, dan lain sebagainya. Mari ubah diri kita yang awalnya hanya sekedar menonton, menjadi penggerak yang terlibat bahu-membahu memajukan bangsa.

Sebagai upaya mengawal jalan panjang demokrasi, berbagai pihak haruslah turut terlibat aktif, memberikan pencerahan-pencerahan, yang bersifat solutif bukan agitasi dan propaganda. Bagi saya pribadi, sosialisasi dan diskusi merupakan jembatan awal membangkitkan kesadaran berpolitik serta pengawalan misi demokrasi. Dengan pola ini, pikiran akan semakin terbuka dan wawasan semakin luas dengan adanya dialog-dialog serta saling bertukar pikiran. 

Sekiranya banyak masyarakat yang tidak tersentuh kabar politik, maka sejauh itu pula usaha sosialisasi yang perlu dilakukan. Pedagang, buruh, pemuda, aktivis, komunitas, penyandang disabilitas, hingga narapidana yang masih memiliki hak pilih perlu kita sapa. Bangkitkan kesadaran mereka, bahwa cita-cita kemajuan bangsa bisa diwujudkan, dimulai dari memilih pemimpin yang amanah dan bercita-cita mulia.

Ayolah, tidak perlu memposisikan diri lebih tinggi, kedepankan pinsip egalitarianisme. Anda mahasiswa? Tidak perlu malu mengajak petani atau peternak berdiskusi soal kebijakan pemerintah. Toh, mereka juga turut merasakan kebijakan itu bukan? Anda profesor, ustadz pesohor, atau pengusaha tajir? Jika memiliki kapabilitas dan kepedulian, ajaklah pedagang di pasar, tukang becak, hingga pemulung sekalipun berdiskusi’ cerahkan mereka. Tidak perlu muluk-muluk, diskusi bisa sesimpel mengajukan pertanyaan mengapa harga bawang anjlok? Kemudian beri stimulus terbaik, apa yang bisa mereka perbuat untuk mengubah kondisi itu.

Refleksi Menjadi Relawan Demokrasi KPU
Selama tiga bulan menjadi relawan demokrasi, aku menyadari satu hal penting. Jika demokrasi ini ingin maju, maka sikap ‘apatis’ haruslah dilenyapkan secara tuntas dari benak masyarakat. Masa bodoh, tidak peduli dengan demokrasi dan politik. Lebih fatal lagi, sikap apatis ini ditambah dengan satu virus materialisme. Parah!

Referensi Penting: Yukk Coba Bisnis Modal Kecil dengan Untuk besar

Mengacuh pada pemikiran Machiavelli, seorang filsuf sekaligus diplomat Italia, sikap apatis ditambah materialis akan merusak virtue sebagai dasar berpolitik. Hal mana, secara garis besar virtue dapat diartikan sebagai tata norma dan nilai luhur yang harus dijaga. Apa contoh kasusnya? Money Politics. Kasus ini memungkinkan kandidat untuk membeli secara materialistik ke-apatis-an setiap warga dalam bentuk surat suara. Dengan demikian, nilai luhur menjadi luntur, karena hati nurari telah terbeli. Akhirnya, kandidat yang memimpin tidak lagi ditentukan oleh kualitas diri, tetapi seberapa banyak rupiah mampu membeli.

Menjejaki kilas balik, ke-apatis-an muncul sebagai ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin atau kebijakannya. Pernah aku bertanya kepada salah seorang tukang parkir, yang dengan blak-blakan ia memilih golput atau jika ada peluang, menjual suaranya. Apa alasannya?

“Halah, siapapun yang jadi, toh hidup kita ya masih begini-begini saja sejak dulu. Makan, cari sendiri. Rasanya nasi, yah masih hambar begitu. Tidak ada yang berubah.” katanya.

Memang benar, siapapun pemimpinnya, setiap orang akan mencari uang sendiri untuk kebutuhan hidupnya. Tapi ingat, kemudahan mencari uang, nilai mata uang, murah atau mahalnya harga kebutuhan pokok, itu semua tergantung kebijakan pemerintah (keputusan politik). Memang benar, sejak dulu kala, nasi ya begitu rasanya: Hambar. Tapi itu bukan alasan tidak makan. Kita hanya perlu mengubah rasa nasi itu. Taburi garam, tambahan irisan bawang dan brambang, berikan cabai cincang, goreng hingga aroma menyeruak, saat itulah ‘nasi hambar’ berupa taraf kenikmatannya. Sungguh, kecewa bukan alasan untuk kita diam tak bergerak.

Ingatlah salah satu lagi D’Masiv: Jagan Menyerah! Kalian pernah lihat sinetron Indonesia dengan adegan perempuan yang tertabrak mobil? Cobalah untuk reka adegan. Disaat mobil masih jauh, si perempuan menyadari bahwa dirinya akan tertabrak. Lihatlah apa yang terjadi? Sepuluh detik sebelum tertabrak, si perempuan hanya teriak-teriak tidak jelas, menyerah, seolah dirinya pasti akan celaka. Padahal, dalam waktu sepuluh detik itu, dia bisa saja melangkah dengan santai menghindari benturan dengan mobil. Tapi itu tidak dilakukan. Mengapa? Karena dia sudah menyerah.

Dengan analogi sederhana ini, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran bahwa menyerah bukan pilihan. Kita diciptakan tidak untuk menyerah, tetapi untuk melakukan perubahan. Mengubah kondisi diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan bangsa. Dan untuk mengawal perubahan itu, lenyapkanlah sikap apatis berpolitik dalam diri. Sadarlah, bahwa sebagai negara demokrasi, kehidupan masyarakat ini akan ditentukan oleh keputusan politik. Dan keputusan politik itu, kita (masyarakat) yang menentukan.

Tiga bulan sebagai relawan demokrasi, saya cukup berbangga hati, karena nampaknya masih banyak masyarakat yang memiliki integritas dan virtue. Yang menjadikan kebanggan memuncak, spirit berdemokrasi dan berpolitik itu digaungkan oleh orang-orang berkebutuhan khusus dan disabilitas.

Referensi Penting: Strategi Bisnis ala Utsman bin Affan 100% Sukses

Sewaktu melakukan sosialisasi Pilwali Kota Blitar, saya mengamati bahwa audience yang hadir bukan peserta biasa. Kalian boleh melihat keriput kulitnya, buta matanya, bisu mulutnya, atau cacat fisiknya, tapi spirit kesadaran berpolitiknya sangat tulus terasa. Mereka siap mengawal virtue sebagai pondasi politik. 

Saya bersama tim relawan, pernah mengundang mereka hadir sosialisasi tatap muka. Saat itu, kami getir menanti kedatangan mereka, karena cuaca sedang tidak bersahabat (hujan). Sangat masuk akal apabila mereka memutuskan tidak berangkat ke tempat sosialisasi. Apalagi dengan kondisi fisik yang berbeda dengan orang kebanyakan. Kalian tahu? Mereka semua hadir. Genap 45 orang, sesuai undangan kami.

Lihatlah! Spirit-spirit ililah yang perlu ditularkan ke banyak orang. Semangat dan ketulusan inilah yang patut diteladani. Bahwa, dengan apapun kondisi atau kekecewaan yang pernah kita alami, jangan sekalipun menyerah. Karena sungguh, kecewa bukan alasan dan menyerah bukan pilihan. Kebahagiaan yang hakiki, perlu diusahakan, tak cukup hanya dinantikan.

Post a Comment for "Review Relawan Demokrasi KPU: Kecewa Bukan Alasan, Menyerah Bukan Pilihan"