Bagaimana Seharusnya Seorang Istri? Refleksi Milad Arin Al-Aziz Ke-26

Inspiratips - Di banyak tempat, begitu topik obrolan membicarakan tugas seorang istri, mayoritas mengatakan “Seorang istri itu kudu manut (nurut) apa kata suami.”. Meski dengan catatan, asalkan sang suami tidak menjerumuskan ke jalan kemaksiatan, maka sang istri wajib mengikutinya, manut.

Realitas memang, pemahaman yang demikian itu diperkuat oleh dalil atau legitimasi agama. Katanya, jalan istri masuk surga itu sangat mudah. Cukup jauhi syirik, kerjakan syariat, dan berbakti kepada suaminya. Lalu ditutup dengan sebuah negasi, bahwa banyak perempuan masuk neraka, disebabkan karena ketidakpatuhannya terhadap suami.

Baiklah, aku tidak ingin berdebat soal ini. Bukankah setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda terkait ‘fikih rumah tangga’. Maka, izinkanlah! Melalui tulisan ini, aku akan menguraikan bagaimana seharusnya seorang istri (terhadap suami)–masih dalam garis versiku–kalian boleh setuju, boleh tidak.

Bagaimana Seharusnya Seorang Istri?

Kembali menyoal definisi ‘manut’ yang sempat tersemat di atas. Redaksinya, selagi suami tidak mengajak kepada kemaksiatan maka istri wajib patuh. Benarkah demikian? Aku akan menjawabnya dengan sebuah contoh kasus dan analogi sederhana.

  • Apakah termasuk maksiat, jika suami minta kepada istri dimasakkan tahu kecap setiap hari? Tentu, itu bukanlah perilaku maksiat. Jika demikian, istri tentu tidak boleh menolaknya, bukan?


  • Apakah termasuk maksiat, jika suami minta kepada istri menyetujui semua rencana bisnisnya (sang suami)? Tentu, itu bukanlah perilaku maksiat. Apalagi, tugas mencari nafkah memang dipikul oleh suami. Jika demikian, tentu istri harus menyetujui semua rencana bisnis suaminya, bukan?

Coba sekarang kita ambil sebaliknya, eh ternyata istri tidak bersedia masak tahu kecap setiap hari dan tidak semua rencana bisnis suaminya disetujui. Lantas, apakah perilaku sang istri tersebut dicap sebagai ketidakpatuhannya kepada sang suami? Jika kalian menjawab ‘Ya’, maka sungguh itu jawaban yang sangat diskriminatif.

Jika fungsi istri hanya disandingkan dengan perilaku manut dan patuh, apa bedanya ia dengan hewan peliharaan. “Bunda, masak ikan asin ya!”, “Mama, ini uang belanja 500 ribu buat sebulan ya!”, “Sayang, kok kamu agak gendutan ya? Coba diet donk, biar cantik.” “Ummii, sudah selesai mens? Bubuk yukk!” Lalu, usai melayangkan kalimat itu, sang suami berharap istri akan menjawab “Siap!”.

Lah kok enak?

Sejujurnya, menurutku tidak ada yang salah ketika istri akan senang hati bilang “siap!”. Eh, justru dengan ‘manut’ itu, istri akan kian mulus langkahnya masuk ke surga–begitu sih kata orang yang ngutip dalil serupa. Tapi dengan perilaku itu, beranikah sang suami mengklaim dirinya adalah suami yang baik lagi memuliakan istrinya?

Bagaimana Seharusnya Hubungan Suami Istri?

Sebagai kata kunci, benang merah atas permasalahan rumah tangga, sejatinya hanya ada satu: Jangan pisahkan penyebutan ‘suami istri’ menjadi ‘istri’ atau ‘suami’ saja. Misal, “Tugas istri terhadap suami dalam Islam”. Hal mana seharusnya judul yang tepat adalah “Tugas suami istri membangun rumah tangga menurut Islam”.

Kembali ke pembahasan. Kawan, aku akan bercerita satu kisah.

Aku dan Arin, sudah menikah sejak tahun 2018 lalu. Itu artinya, hingga tahun 2021, sudah empat tahun kami mengarungi bahtera rumah tangga ini. Aku sangat mencintai istriku, semua orang tahu itu–bahkan Amuba yang baru membela diri pun meng-iya-kannya. Di tempat kerja, aku selalu ingin cepat pulang menemui istriku. Aku merindukan senyumnya, masakannya, tertawa riang bersamanya.

Sayangnya, Amuba itu tak tahu, dibalik besarnya rasa cintaku kepada istriku, aku selalu menyimpan kejengkelan ketika keinginanku tidak dipenuhinya. Simpel saja, aku ingin resign kerja, lalu fokus berwirausaha kuliner. Istriku menolaknya! Tentu saja, saat itu gejolak pikiranku tak menentu. Seolah ada bisikan-bisikan yang melunturkan senyum manis istriku, lalu menjelma sebagai perempuan yang ‘tidak manut’ kepada suami.

Padahal, apa yang salah dengan ideku? Aku ingin resign kerja, agar bisa lebih dekat dan banyak waktu dengan keluarga. Toh, bukankah Nabi Muhammad juga seorang pedagang. Lalu kenapa istriku menolak ideku? Belum lagi disertai alasan, bahwa keputusan resign kerjaku terlalu mendadak, pun ide bisnisku belum matang, katanya.

Dan, kejadian yang serupa tak hanya sekali, dua kali, karena hampir setiap aku punya ide bisnis, istriku tidak langsung menyetujuinya, bahkan cenderung mengacaukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menguji. Aku pernah berjualan susu pelangsing, sudah pesan gerobak es tapi batal jualan, produksi otak-otak bandeng, hampir jualan sate usus, hingga jualan susu kedelai. Namun, semua tak bertahan lama. Semua jalan itu terjal, lalu membuatku tumbang.

Pada awal tahun 2020–sebelum menjadi karyawan toko emas–istriku memintaku untuk aktif ngeblog. Katanya, aku punya pashion dan basic di sana. Namun aku mengabaikan pendapat itu dengan tetap menerima pekerjaan baruku sebagai karyawan toko emas. Dalihku sederhana, dengan bekerja di toko emas, aku punya penghasilan yang pasti setiap bulannya, sedikit di atas UMR.

Namun, lagi-lagi aku terjatuh.


Setelah keluar dari toko emas, apa yang diinginkan istriku (yang pernah kuabaikan itu) akhirnya kuambil. Akhir tahun 2020 aku mulai belajar, upgrade ilmu, dan kembali aktif ngeblog lagi. Selain ngeblog, aku menerima orderan menulis artikel. Hanya itu pekerjaanku, nulis dan ngeblog.

Sebagai seorang fulltime blogger, aku tiba pada suatu titik kesadaran, bahwa pekerjaan ini benar-benar paling kunikmati diantara pekerjaan atau bisnis yang sebelumnya kujalani. Bagaimana dengan penghasilan? Dengan Inspiratips Media yang kudirikan dengan istri, kini penghasilan tak lagi menjadi kekhawatiran.

Pada suatu ketika, tiba-tiba apa yang pernah diucapkan istriku kembali menyeruak ke benakku.

“Mas, apa yang engkau putuskan dan apa yang engkau lakukan, semuanya akan berdampak kepada keluarga kita. Ada Mas, Adinda, dan anak-anak. Kenapa Adinda selalu bersuara? Karena Adinda ingin apa yang Mas putuskan benar-benar membawa kebaikan dalam keluarga kita. Adinda tidak ingin Mas terjatuh dalam ambisi sesaat yang seringkali menipu.”

Mengingat hal itu, kesadaranku berkata, ternyata apa yang selama ini kupahami dengan istilah ‘manut’ itu salah. Istri tidak melulu harus mengatakan ‘Ya, siap’. Istri selalu punya hak untuk bersuara, menentukan masa depan keluarga bersama. Tidak! Lebih dari sekedar hak, bahkan istri memiliki kewajiban untuk selalu menasehati sang suami, membersamainya, dan menguatkannya.

Sebagai seorang suami, istri letaknya bukan dibelakang, yang hakikatnya selalu mengekor. Tapi gandenglah istri di samping, saling melihat, saling bergandengan, dan saling menguatkan. Karena semua, bukan hanya tentang ‘manut’ atau tidak, tetapi ini tentang ‘kepedulian’ dan ‘cinta’.

Tulisan ini terlalu panjang, hampir seribu kata. Pun bagian akhirnya juga terlalu abstrak, masih ngambang. Dan aku sengaja tidak memberikan kesimpulan secara gamblang. Silahkan ambil pelajaran, jika menurut kalian ada hikmah yang bisa dipetik. Namun, satu hal yang jelas: Jika kita masih menemukan jalan terjal dalam berkarir, mungkin ada yang salah dari cara kita memperlakukan istri. Tabik!

-------------------------------

Tepat tanggal 1 Mei 1995, lahir bayi perempuan mungil yang diberi nama Arinal Aziz. Yang pada 2021 ini, bayi mungil itu telah menjadi sesosok perempuan dewasa yang cantik dan bersahaja. Dialah istriku, Arinal Aziz. Darinya, lahir dua calon pemimpin masa depan, Syafiq Riza Al-Fatih dan Rifdah Nabila Az-Zahrawi.

Dan tepat tanggal 1 Mei 2021 ini, usianya genap 26 tahun. Apa yang kutulis di atas, kupersembahkan sebagai refleksi hari milad. Sebagai bentuk permohonan maaf, yang selama ini keras kepala. Serta ungkapan terima kasih, karena cinta yang diberikan padaku tidak pernah luntur. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah kepadanya. Serta memberikan kekuatan kepadaku, agar senantiasa membahagiakannya, serta menggandengnya ke surga Allah. Aamiin

Post a Comment for "Bagaimana Seharusnya Seorang Istri? Refleksi Milad Arin Al-Aziz Ke-26"